PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas Awal
Dosen
Pengampu: Drs. Suwandi, M. Pd.
Nama Anggota Kelompok:
1. Hardika
Tri Wicaksono (1401412001)
2. Septi
Risnawati (1401412498)
3. Nurhayati
(1401412509)
4. Tiyas
Afriyani (1401412413)
Rombel: 3A
PENDIDIKAN
GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat dan kemudahan
yang telah diberikan kepada kami, sehingga alhamdulillah akhirnya kami telah
menyelesaikan tugas mata kuliah
Ketrampilan Bernahasa dan Bersastra Indonesia berupa makalah tentang Ejaan Yang
Disempurnakan. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan
saran dari para pembaca akan membantu kami untuk memperbaiki makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, kami
tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada
semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas makalah ini. Kami berharap semoga para
pembaca dapat mendapatkan manfaat setelah membaca makalah ini dan kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan, bahasa atau yang lainnya.
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
..............................................................................................
i
KATA
PENGANTAR
............................................................................................ii
DAFTAR
ISI
.........................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah...............................................................................
1
B.
Rumusan
Masalah .......................................................................................
1
C.
Tujuan
Penulisan .........................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Bahasa
......................................................................................
3
B.
Hakikat Pemerolehan Bahasa Anak
........................................................... 3
C.
Teori Pemerolehan Bahasa Anak
............................................................... 5
D.
Ragam Pemerolehan Bahasa Anak ..........................................................
10
E.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak ............. 10
F.
Strategi
Pemerolehan Bahasa Anak .........................................................
16
G.
Pengaruh
Kegiatan Pembelajaran dalam Pemerolehan Bahasa Anak ...... 19
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
..............................................................................................
21
B.
Saran
.........................................................................................................
21
DAFTAR
PUSTAKA ..........................................................................................
22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem simbol vokal yang
arbitrer dalam suatu kebudayaan tertentu,yang memiliki khas dan ciri tertentu.
Digunakan oleh suat masyarakat untuk berinteraksi dan bekerja sama. Anak-anak belajar berkomunikasi
dengan orang lain melalui berbagai cara. Meskipun cara yang digunakan pada
setiap anak berbeda-beda. Pengetahuan tentang hakikat perkembangan bahasa anak,
perkembangan bahasa lisan dan tulis yang terjadi pada mereka, serta perbedaan
individual dalam pemerolehan bahasa sangat penting bagi pelaksanaan
pembelajaran bahasa anak, khususnya pada waktu mereka belajar membaca dan
menulis permulaan. Sehingga perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak
merupakan salah satu aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak
luput dari perhatian para pendidik pada umumnya dan orang tua pada khususnya.
Itulah sebabnya calon guru sekolah dasar perlu menguasai berbagai konsep yang
terkait dengan perkembangan dan pemerolehan bahasa anak.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
pengertian bahasa?
2.
Apakah
hakikat pemerolehan bahasa anak?
3.
Apa
sajakah teori pemerolehan hahasa anak?
4.
Apa
sajakah ragam pemerolehan bahasa anak?
5.
Faktor-Faktor
apakah yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak?
6.
Bagaimana
strategi pemerolehan bahasa anak?
7.
Apakah
pengaruh pembelajaran dalam pemerolehan bahasa anak?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian bahasa.
2.
Mengetahui
hakikat pemerolehan bahasa anak.
3.
Mengetahui
teori-teori pemerolehan hahasa anak.
4.
Mengetahui
ragam pemerolehan bahasa anak.
5.
Mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak.
6.
Mengetahui
bagaimana strategi pemerolehan bahasa anak.
7.
Mengetahui
pengaruh pembelajaran dalam pemerolehan bahasa anak.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bahasa
a.
Menurut Oka dalam bukunya yang berjudul
Linguistik tahun 2004 bahasa adalah: Sistem simbol pokal yang arbitrer ( Gaya bahasa
yang bebas tapi menurut EYD) yang memungkinkan semua orang dalam suatu
kebudayaan tertent.atau orang lain yang mempelajari sistem kebudayaan itu,
berinteraksi dan berkomunikasi.
b.
Menurut Hendri Guntur Tarigan dalam bukunya
pembelajaran wacana tahun 1987 Bahasa adalah: Suatu sistem bunyi ajuran (kata
yang di ucapkan yang mengandung kalimat) yang tersusun dari lambang-lambang
mana suka yang bersifat unik dan khas yang di bangun dari kebiasaan-kebiasaan
masyarakat dan berhubungan erat dengan budaya tempatnya berada.
c.
Menurut Ss Daryanto dalam kamus Besar Bahasa
indonesia lengkap tahun 1997 Bahasa adalah: Sistem lambang bunyi yang arbitrer
yang digunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama
berinteraksi,dan mengidentifikasi diri dalam percakapan yang baik dan sopan
santun.
d.
Dari pengertian diatas
maka dapat
saya simpulkan Bahasa adalah: Sistem simbol vokal yang
arbitrer dalam suatu kebudayaan tertentu,yang memiliki khas dan ciri tertentu.
Digunakan oleh suatu masyarakat untuk berinteraksi,dan bekerja sama.
B.
Hakikat
Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan
bahasa (language
acquisition) atau akuisisi bahasa menurut Maksan (1993:20) adalah suatu
proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seseorang secara tidak sadar,
implisit, dan informal.
Lyons (1981:252) menyatakan
suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang menghasilkan
pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa. Artinya,
seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu mempelajari bahasa
tersebut.
Stork dan Widdowson (1974:134)
mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi bahasa adalah suatu proses
anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya.
Huda (1987:1) menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa adalah proses alami di dalam diri seseorang menguasai
bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan hasil kontak verbal dengan
penutur asli lingkungan bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan bahasa
mengacu ada penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpegaruh oleh
pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.
Pada hakikatnya pemerolehan bahasa anak melibatkan dua
keterampilan, yaitu kemampuan untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan
kemampuan memahami tuturan orang lain. Jika dikaitkan dengan hal itu maka yang
dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa
baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa melalui
kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998). Selain pendapat tersebut
Kiparsky dalam Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu
proses yang digunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis
dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling
baik dan paling sederhana dari bahasa bersangkutan. Dengan
demikian, proses pemerolehan adalah proses bawah sadar. Penguasaan bahasa tidak
disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang secara eksplisit tentang
sistem kaidah yang ada didalam bahasa kedua. Berbeda dengan proses
pembelajaran, adalah proses yang dilakukan secara sengaja atau secara sadar dilakukan
oleh pembelajar di dalam menguasai bahasa.
C.
Teori
Pemerolehan Bahasa Anak
Berikut ini adalah beberapa teori
pemerolehan bahasa pada anak diantaranya yaitu:
1.
Teori
Pemerolehan Bahasa Behavioristik
Menurut pandangan kaum behavioristik atau kaum empirik atau kaum
antimentalistik, bahwa anak sejak lahir tidak membawa strutur linguistik.
Artinya, anak lahir tidak ada struktur linguistik yang dibawanya. Anak yang
lahir dianggap kosong dari bahasa. Mereka berpendapat bahwa anak yang lahir tidak membawa kapasitas atau
potensi bahasa.
Brown dalam Pateda (1990:43) menyatakan bahwa anak lahir ke dunia ini
seperti kain putih tanpa catatan-catatan, lingkungannyalah yang akan
membentuknya yang perlahan-lahan dikondisikan oleh lingkungan dan pengukuhan
terhadap tingkah lakunya. Pengetahuan dan keterampilan berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan
proses belajar. Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akuisisi
bahasanya. Dengan demikian, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan
melalui pewarisan kebudayaan, sama halnya seperti orang yang akan belajar
mengendarai sepeda.
Menurut Skinner (Suhartono, 2005:73) tingkah laku bahasa dapat dilakukan
dengan cara penguatan. Penguatan itu terjadi melalui dua proses yaitu stimulus
dan respon. Dengan demikian, yang paling penting di sini adalah adanya kegiatan
mengulangulang stimulus dalam bentuk respon. Oleh karena itu, teori stimulus
dan respon ini juga dinamakan teori behaviorisme.
Dikaitkan dengan akuisisi bahasa, teori behavioris mendasarkan pada proses
akuisisi melalui perubahan tingkah laku yang teramati. Gagasan behavioristik
terutama didasarkan pada teori belajar yang pusat perhatian tertuju pada
peranan lingkungan, baik verbal maupun nonverbal. Teori belajar behavioris ini
menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku dilakukan dengan menggunakan model
stimulus (S) dan respon (R) Dengan demikian, akuisisi bahasa dapat diterangkan
berdasarkan konsep SR. Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan anak
adalah reaksi atau respon terhadap stimulus yang ada. Apabila berkata, “Bu,
saya minta makan”, sebenarnya sebelum ada ujaran ini anak telah ada stimulus
berupa perut terasa kosong dan lapar. Keinginan makan, antara lain dapat
dipenuhi dengan makan nasi atau bubur. Bagi seorang anak yang beraksi terhadap
stimulus yang akan datang, ia mencoba menghasilkan sebagian ujaran berupa bunyi
yang kemudian memperoleh pengakuan dari orang yang di lingkungan anak itu.
Kaum behavioris memusatkan perhatian pada pola tingkah laku berbahasa yang
berdaya guna untuk menghasilkan respon yang benar terhadap setiap stimulus.
Apabila respon terhadap stimulus telah disetujui kebenarannya, hal itu menjadi
kebiasaan. Misalnya seorang anak mengucapkan , "ma ma ma",dan tidak
ada anggota keluarga yang menolak kehadiran kata itu, maka tuturan "ma ma
ma", akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan diulangi lagi ketika anak
tadi melihat sesosok tubuh manusia yang akan disebut ibu yang akan dipanggil
"ma ma ma". Hal yang sama akan berlaku untuk setiap kata-kata lain
yang didengar anak.
Teori akuisisi bahasa berdasarkan konsep behavioris menjelaskan bahwa
anak-anak mengakuisisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini
dengan cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini Pateda (1990:45)
menyatakan bahwa faktor yang penting dalam peniruan adalah frekuensi
berulangnya satu kata dan urutan kata. ujaran-ujaran itu akan mendapat
pengukuhan, sehingga anak akan lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata.
Seandainya kata dan urutan kata itu salah, maka lingkungan tidak akan
memberikan pengukuhan. dengan cara ini, lingkungan akan mendorong anak
menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap
tuturan yang tidak gramatikal.
2.
Teori
Pemerolehan Bahasa Mentalistik
Menurut pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau nativis, proses
akuisisi bahasa bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia
telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang
sesuai dengan proses kematangan intelektualnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke
dunia ini telah membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut
menentukan struktur bahasa yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan kelask
disebut hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan yang akan
dipertentangkan dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa bahasa
diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman.
Seperti telah dikatakan di atas bahwa anak memiliki kapasitas atau potensi
bahasa maka potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. Pandangan
ini biasanya disebut pandangan nativis (Brown, 1980:20). Kaum mentalis
beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang disebut LAD
(Language Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini berisi sejumlah hipotesis
bawaan. Hipotesis bawaan menurut para ahli berpendapat bahasa adalah satu pola
tingkah laku spesifik dan bentuk tertentu dari persepsi kecakapan mengategorikan
dan mekanisme hubungan bahasa, secara biologis telah ditemukan (Comsky, 1959).
Mc Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu terdiri atas:
a)
kecakapan untuk
membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang
lain.
b)
kecakapan
mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas
yang akan
berkembang kemudian.
c) pengetahuan tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin,
dan kecapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian
perkembangan sistem linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem yang
dirasakan mungkin diluar data linguistik yang ditemukan.
Pandangan kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka
tentang sistem bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat
bahwa perkembangan bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses yang
berlangsung sedikit semi sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar, dan
juga standia lanjut. Akan tetapi standia yang bersistem yang berbentuk
kelengkapan-kelengkapan bawaan ditambah dengan pengalaman anak ketika ia
melaksanakan sosialisasi diri. Kelengkapan bawaan ini kemudian diperluas,
dikembangkan, dan bahkan diubah.
Dalam hubungan anak membawa sejumlah kapasitas dan potensi, kaum mentalis
memberikan alasan-alasan sebagai berikut:. Semua manusia belajar bahasa
tertentu; semua bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh manusia; semua
bahasa manusia bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa mempunyai ciri
pembeda yang umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat pada semua bahasa
merupakan kunci terhadap pengertian potensi bawaan bahasa tersebut. Argumen ini
mengarahkan kita kepada pengambilan kesimpulan bahwa potensi bawaan bukan saja
potensi untuk dapat mempelajari bahasa, tetapi hal itu merupakan potensi genetik
yang akan menentukan struktur bahasa yang akan dipelajarinya.
3.
Teori Akuisisi Bahasa Kognitif
Dalam psikolingustik, teori kognitif ini yang memandang bahasa lebih
mendalam lagi. Para penganut teori ini, berpendapat bahwa kaidah generatif yang
dikemukakan oleh kaum mentalis sangat abstrak, formal, dan eksplisit serta
sangat logis.
Meskipun demikian, mereka mengemukakan secara spesifik dan terbatas pada
bentuk-bentuk bahasa. Mereka belum membahas hal-hal menyangkut dalam lapisan
bahasa, yakni ingatan, persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling
berpengaruh dalam struktur jiwa manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa
bahasa adalah manifestasi dari perkembangan umum yang merupakan aspek kognitif
dan aspek afektif yang menyatakan tentang dunia diri manusia itu sendiri.
Teori kognitif menekankan hasil kerja mental, hasil kerja yang
nonbehavioris. Proses-proses mental dibayangkan sebagai yang secara kualitatif
berbeda dari tingkah laku yang dapat diobservasi. Titik awal teori kognitif
adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur di
dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik pemahaman maupun produksi
serta komprehensi, bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif
yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. Jadi, stimulus merupakan
masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi
mekanisme internal yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar
sebagai hasil pengolahan kognitif tadi.
Teori kognitif telah membawa satu persoalan dalam pemberian organisasi
kognitif bahasa anak. Persoalan itu, yakni belum ada model yang terperinci yang
memeriksa organisasi kognitif bahasa anak itu. Untunglah Slobin telah
menformulasikan sejumla prinsip operasi yang telah menarik perhatian para ahli,
Clark dan Clark (Hamied,1987:22-23) telah menyusun kembali dan memformulasikan
prinsip operasi Slobin tersebut.
Prinsip koherensi semantik ada tiga aspek yaitu mencari modifikasi
sistematik dalam bentuk kata; mencari penanda gramatis yang dengan jelas
menunjukkan perbedaan yang mendasari dan menghindari kekecualian.
Prinsip Struktur lahir meliputi: memperhatikan ujung kata; memperhatikan
urutan kata, awalan, dan akhiran; dan menghindari penyelaan atau pengaturan
kembali satu-satuan linguistik.
Tiga Prinsip koherensi semantik behubungan dengan peletakan gagasan
terhadap bahas, sedangkan tiga prinsip struktur lahir berkenaan dengan masalah
segmentasi yaitu bagaimana membagi alur ujaran yang terus-menerus menjadi
satuan-satuan linguistik yang terpisah dan bermakna.
Penganut teori kognitif beranggapan bahwa ada prinsip yang mendasari
organisasi linguistik yang digunakan oleh anak untuk menafsirkan serta
mengoperasikan lingkungan linguistiknya. Semua ini adalah hasil pekerjaan
mental yang meskipun tidak dapat diamati, jelas mempunyai dasar fisik. Proses
mental secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat diamati, dan
karena berbeda dengan pandangan behavior (Pateda, 1990).
D.
Ragam
Pemerolehan Bahasa Anak
Ragam pemerolehan bahasa dapat
ditinjau dari berbagi sudut pandangan, sebagai berikut:
1.
Berdasarkan bentuk:
a.
Pemerolehan bahasa
pertama
b.
Pemerolehan bahasa
kedua
c.
Pemerolehan bahasa
ulang (Klein, 1986:3).
2.
Berdasarkan urutan:
a.
Pemerolehan bahasa
pertama
b.
Pemerolehan bahasa
kedua (Winits, 1981; Stevens, 1984).
3.
Berdasarkan jumlah:
a.
Pemerolehan satu bahasa
b.
Pemerolehan dua bahasa
( Gracia, 1983).
4.
Berdasarkan media:
a.
pemerolehan bahasa
lisan
b.
pemerolehan bahasa
tulis (Freedman, 1985).
5.
Berdasarkan keaslian:
a.
pemerolehan bahasa asli
b.
pemerolehan bahasa
asing (Winits, 1981).
E.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
1.
Faktor Biologis
Setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemamuan kodrati atau alami
yang memungkinkannya menguasai bahasa. Potensi alami itu bekerja secara
otomatis. Chomsky (1975 dalam Santrock, 1994) menyebut potensi yang terkandung
dalam perangkat biologis anak dengan istilah Piranti pemerolehan bahasa
(Language Acquisition Devives). Dengan piranti itu, anak dapat menercap sistem
suastu bahasa yang terdiri atas subsitem fonologis, tata bahasa, kosakata, dan
pragmatik, serta menggunakannya dalam berbahasa.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Dalam proses berbahasa, seseorang dikendalikan oleh sistem syaraf pusat
yang ada di otaknya. Pada belahan otak sebelah kiri dikendalikan oleh sistem
syaraf pusat yang ada di mengontrol produksi atau penghasilan bahasa, seperti
berbicara dan menulis. Pada belahan otak sebelah kanan terdapat wilayah
wernicke yang mempengaruhi dan bagian otak itu terdapat wilayah motor
suplementer. Bagian ini berfungsi untuk mengendalikan unsur fisik penghasil
ujaran. Berdasarkan tugas tenaga bagian otak itu, alur penerimaan dan
penghasilan bahasa dapat disederhanakan seperti berikut. Bahasa didengarkan dan
dipahami melalui daerah Wernicke. Isyarat bahasa itu kemudian dialihkan ke
daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan balasan. Selanjutnya isyarat
tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor, seperti alat ucap, untuk
menghasilkan bahasa secara fisik.
2.
Faktor
Lingkungan Sosial
Untuk memperoleh kemampuan berbahasa, seorang anak memerlukan orang lain
untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk
mendegarkan sesuatu atau menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi, tidak akan
memiliki kemampuan berbahasa. Mengapa demikian? Bahasa yang diperoleh anak
tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi didapat dalam lingkungan
yang menggunakan bahasa. Atas dasar itu maka anak memerlukan orang lain untuk
mengirimkan dan menerima tanda-tanda suara dalam bahasa itu secara fisik. Anak
memerlukan contoh atau model berbhasa, respon atau tanggapan, secara temah
untuk berlatih dan beruji coba dalam belajar bahasa dalam konteks yang
sesungguhnya.
Dengan demikian, lingkungan sosial tempat anak tinggal dan tumbuh, seperti
keluarga dan masyarakat merupakan salah satu faktor utama yang menentukan
pemerolehan bahasa anak. Lalu, bagaimana kaitan lingkungan sosial dengan
perangkat biologis yang telah dimiliki anak lahir? Apakah kalau unsur biologis
anak normal masih tetap memerlukan lingkungan sosial untuk mendapatkan
kemampuan berbahasanya?
Kaitan keduanya sangat erat, tak terpisahkan. Kehilangan salah satu dari
keduanya akan mengakibatkan anak tidak mampu berbahasa. Jika disederhanakan
piranti biologis adalah wadah atau alat maka lingkungan berperan memberi isi
atau muatan. Apabila digambarkan maka bentuknya seperti berikut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa otak alat dengar dan alat ucap, memiliki
peran dasar sangat penting. Gangguan pada salah satu dari ketiganya akan sangat
menghambat bahasa anak. Lennerberg (1975 dalam Cahyono, 1995) membuktikannya
melalui penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak tunarungu, lemah mental,
dan tnawicara.
Dari kajiannya mengenai anak-anak tunarungu, Lennerberg menemukan fakta
berikut. Tiga belum setelah dilahirkan anak-anak tunarungu dapat menghasilkan
bunyi-bunyi yang sama seperti anak normal. Dari bulan keempat hingga bulan
kedua belas, hanya sebagian bunyi yang mereka hasilkan sama dengan anak normal.
Setelah itu, bunyi-bunyi yang mereka hasilkan lebih terbatas dari pada
bunyi-bunyi yang diproduksi anak yang berpendengaran normal.
Hasil pengajaran terhadap anak-anak tunarungu menunjukkan bahwa peluang mereka
untuk belajar menggunakan suara dan alat ucapnya sangat kecil. Ketika mereka
berusaha berbicara, kualitas suara mereka berubaha dengan tekanan yang kurang
biak serta pula informasi yang tak terkendali.
Anak-anak lemah mental cenderung mengartikulasikan tuturannya secara lemah
dengan gramatika yang banyak mengandung kesalham. Kesalahan itu kadang-kadang
pembicarannya bahwa mereka kurang memahami apa yang disampaikannya dan topik
pembicarannya kabur, kurang terarah.
Berdasarkan kajian Lennerberg, anak-anak tunarungu tidak dapat berceloteh
dan menirukan kata. Mereka tidak dapat memiliki kemampuan mengartikulasikan
atau membunyikan tuturannya secara normal. Hal ini disebabkan adanya gangguan
alat ucap mereka. Meskipun demikian, mereka dapat memahami tuturan dengan
relatif baik.
Demikianlah uraian mengenai peranan unsur biologis yang akibatnya lebih
rendah terjadinya pemerolehan bahasa anak. Hambatan biologis yang akibatnya
lebih rendah dalam pemilikan bahasa dapat anda amati pada anak-anak gagap,
cadel, atau sengau.
Konsep lingkungan sosial di sini mengacu kepada berbagai perilaku berbahasa
setiap individu, seperti orang tua, saudara, anggota masyarakat sekitar, dalam
mendukung perkembangan bahasa anak. Dukungan dan keterlibatan sosial ini
diperlukan anak. Inilah yang disebut Bruner (1983 dalam Santrock, 1994) sebagai
sistem pendukung pemerolehan bahasa (langsung acquisition supprot system).
Kita semua tahu bawah pemakai bahasa yang baik itu harus memiliki dua hal.
Pertama dia harus menguasai sistem atau aturan bahasa yang digunakannya. Kedua,
dia juga harus memehami dan menguasai aturan sosial penggunaan bahsa itu. Kita
akan menyebut kurang ajar apbila seorang anak berbahasa dengan gurunya
menggunakan ragam dan cara bahasa seperti dengan kawa sebayanya. Nah, apabila
piranti biologis memungkinkan anak memahami sistem bahasanya maka lingkungan
sosial memberikan kesempatan baginya untuk berinteraksi dengan bahasa yang
dimilikinya sehingga bahasanya berfungsi secara wajar. Berikut ini adalah
beberapa cara sosial itu memberikan dukungan kepada anak dalam belajar bahasa:
a. Bahasa semang (motheresse) yaitu
penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang dewasa lainnya ketika berbicara
dengan bayi anak kecil. Misalnya, “Napa chayang? Mau mimi, iya? Bentar, ya!”
b. Parafrase, yaitu pengungkapan kembali
ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda. Misalnya kalimat
pernyataan menjadi kalimat pertanyaan. Efek parafase ini sangat menolong anak
belajar bahasa. Oleh karena itu, orang dewasa sebaiknya membiarkan anak menunjukkan
minat serta mengungkapkannya dalam bentuk komentar, demontrasi dan menjelaskan.
Menurut Rice (Santrock, 1994), pendekatan direktif atau langsung sewaktu
berkomunikasi dengan anak akan mengganggunya. Misalnya:
Anak : “Mammam!”
Ibu : “Oh, maem, chayang?” (Oh maka, sayang?)
c. Menegaskan kembali (echoing) yaitu
mengulang apa yang dikatakan anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap
atau tidak sesuai dengan maksud. Misalnya:
Anak : “Mah itu!” sambil menunjuk. Mukanya seperti ketakutan.
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
d. Memperluas (expanding) yaitu
mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan yang
lebih kompleks.
e. Menamai (labeling), yaitu mengindentifikasi nama-nama benda. Bisa dalam bentuk benda
sebenarnya atau benda tiruan (realia), gambar, permainan kata, dan sebagainya.
f. Penguatan (reinforcement) yaitu
menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak. Misalnya,
dengan memuji, memberi acungan jempol, dan tepuk tangan.
g. Pemodelan (modelling), yaitu
contoh berbhasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa (Santrock, 1994;
Benson, 1998).
Semakin kuat rangsangan dan dukungan sosial terhadap bahasa anak, akan
semakin kaya pula masukan dan kemampuan berbahasanya. Sebaliknya, apabila
dukungan sosial itu kurang atau negatif maka masukan bahasa anak pun akan
sedikit. Dengan demikian, tingkat masukan bahasa yang diperoleh anak akan
mempengaruhi tingkat perkembangan bahasanya.
Begitu pentingnya peranan unsur atau lingkungan sosial terhadap pemerolehan
bahasa anak. Seandainya saja seorang anak normal diasingkan dan tumbuh di
lingkungan hutan, di antara hewan-hewan hutan, niscaya bahasa hewanlah yang
akan dikuasainya. Anda setuju dengan pendapat itu?
Selain faktor biologis dan sosial, ada unsur lain yang mempengaruhi
pemerolehan bahasa anak-anak. Kedua faktor itu adalah intelegensi dan motivasi.
3. Faktor Intelegensi
3. Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar.
Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan
masalah. Intelengesiini bersifat abstrak dan tak dapat diamati secara langsung.
Pemahaman kita tentan tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan
melalui perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang
bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak
yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya
nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya
seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh
bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat
kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya
cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada
anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
4. Faktor Motivasi
4. Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat menjelaskan “Mengapa
seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu
ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri. Dia
belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat, seperti lapar, haus, serta
perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986; Tompkins dan Hoskisson. 1995).
Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri anak
sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan
komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami dan memahami guna mewujudkan
kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa komunikasi bahasa
yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira sehingg dia pin kerap
menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya. Kondisi ini memacu anak
untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi. Nak karena dorongan
belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya disebut motivasi
ekstrinsik.
F.
Strategi
Pemerolehan Bahasa Anak
Berbeda dengan orang dewasa, anak kecil cenderung lebih cepat belajar dan
menguasai suatu bahsa. Dalam lingkungan masyarakat bahasa apa pun mereka hidup
anak-anak hanya memerlukan waktu relatif sebentar untuk menguasai sistem bahasa
itu. Apalagi kalau mereka berada dalam lingkungan bahasa ibunya (Bahasa
Pertama)
Sebenarnya strategi apa yang ditempuh anak-anak dalam belajar bahasa
sehingga dengan cepat mereka dapat menguasai itu. Padahal mereka tidak sengaja
belajar atau diajari secara khusus. Ternyata, untuk memperoleh kemampuan bahasa
lisannya mereka melakukannya dengan berbagai cara seperti di bawah ini.
1.
Mengingat
Mengapa memainkan peranan penting dalam belajar bahasa anak atau belajar
apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, direkam dalam benaknya. Ketika
dia menyentuh, mencerap, mencium, melihat, dan mendengar sesuatu, memori anak
menyimpangnya. Pancaindra itu sangat penting bagi anak dalam membangun
pengetahuan tentang dunianya.
Pada setiap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang
kombinasi bunyi-bunuyi tertentu yang menyertai dan merujuk pada sesusatu yang
dia alami. Ingatan itu akan semakin kuat, terutama apabila penyebutan akan
benda atau peristiwa tertentu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini,
anak-anak mengingat kata-kata tentang sesusatu sekaligus berulang-ulang pula
cara mengucapnya.
Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat anak ketika diucapkan tidak salah
tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau hanya suku kata awal atau akhirnya
saja. Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan alat ucap anak masih sedsang
berkembang. Dia menyimpan kata yang dia dengar, yang dia diperlukan dalam
memorinya. Dia pun mencoba mengatakannya. Namun tingkat perkembangannya yang
belum memungkinkan dia melafalkan tuturan sesempurna orang dewasa. Oleh kareana
itu, dalam berbahasa biasanya anak dibantu oleh ekspresi, gerak tangan atau
menunjuk benda-benda tertentu. Inilah versi bahasa anak.
Mengingat kondisi itu, dalam berkomunikasi dengan anak biasanya orang tua
atau orang dewasa menyederhanakan bahasanya. Penyerderhanaan itu diwujudkan
dalam tuturan yang pelan, ekspresif, dan modifikasi kata yang mudah diingat dan
diucapkan anak, seperti kata “pus” untuk kucing, “mimi” untuk minum, “mamam”
atau “Ma’em” untuk makan, “bobo” tidur, dan “pipis” untuk kencing.
2.
Meniru
Strategi penting lainnya yang
dilakukan anak dalam belajar bahasa adalah peneriuan. Perwujudan strategi ini
sebenarnya tak dapat dipisahkan dari strategi mengingat. Kemudian apakah
peniruan yang dilakukan dalam belajar bahasa itu seperti beo? Apakah dia meniru
bulat-bulat dan hanya sekedar mengulang kembali apa yang didengarnya?
Perkataan anak tidaklah selalu
merupakan pengulangan searah persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo.
Cobalah anda amati atau minta seorang anak mengulang suatu tuturan yang
dicontohlan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung mengalami
perubahan. Perubahan itu daopat berupa pengurangan, penambahan, dan penggatian
kata atau pengurutan susunan kata. Mengapat begitu?
Sedikitnya ada 2 penyebab.
Penyebab pertama, berkaitan dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa,
serta alat ucap. Dengan demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah
dikuasainya. Penyebab kedua, berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di
suatu sisim secsara bertahap dia dapat memahami dan menggunakan suatu sistem
bahasa yang memungkinkan dia mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak
terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang melakukan percobaan atau eksperimen
dalam berbhasa. Percobaan ini terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya
berpindah pada tingkat yang lebih kompleks.
Atas dasar itu pula, tampaknya
sulit bagi anak untuk meniru bulat-bulat tuturan orang dewasa. Sebab, apabila
anak berkonsentrasi pada tuturan tersebut maka perkembangan kemampuan komunikasinya
akan sangat terganggu. Hasilnya pun akan sangat terbatas (MaCaualay,
1980). Oleh karena itu tak perlu heran apabila suatu ketika anda mendengar
anak mampu memproduksi tuturan yang belum pernah anda dengar sebelumnya. Hal
ini terjadi karena dalam belajar bahasa, seorang anak tidak sekedar menangkap
kata-kata. Dia juga mencerna prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami.
Dengan demikian, sifat peniruan anak cenderung bersifat dinamis dan
kreatif. Oleh karena strategi peniruan itu pula maka model (orang)
yang memberikan masukan kebahasaan kepada anak sangat mempengaruhi corak bahasa
yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik maka versi bahasa yang
kurang baik itulah yang akan dipelajarinya.
3.
Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa
pertamanya adalah mengalami langsung kegiatan berbahasa dalam konteks yang
nyata. Anak menggunakan bahasanya baik ketika berkomunikasi dengan orang lain,
maupun sewaktu sendirian. Dia menyimak dan berbicara langsung, dan sekaligus
memperoleh tanggapan dari mitra bicaranya. Dari tanggapan yang diperolehnya,
secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang kewajaran dan ketepatan
perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga si anak mendapat masukan
dari tindak berbahasa yang dilakukan mitra berbicaranya.
4. Bermain
Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan
kemampuan berbahasa anak. Dalam bermain, si anak kadang berperan sebagai orang
dewasa, sebagai penjual atau pembeli dalam bermain dagang-dagangan, ibu, bapak
atau anak dalam bermain rumah-rumahan, sebagai dokter atau perawat atau pasien
atau sebagai guru atau murid dalam bermain sekolah-sekolahan.
G.
Pengaruh
Pembelajaran dalam Pemerolehan Bahasa Anak
1.
Pengaruh pembelajaran
pada urutan pemerolehan bahasa
Untuk dapat belajar bahasa Indonesia dengan baik, anak-anak hendaknya juga memiliki kesiapan psikolinguistik. Untuk dapat memiliki kesiapan psikolinguistik anak-anak hendaknya memperoleh kesempatan untuk paling tidak mendengar penggunaan bahasa Indonesia dilingkungan keluarganya.lebih baik lagi kalau dilingkungan keluarganya terdapat Koran, majalah, dan buku-buku dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Untuk dapat belajar bahasa Indonesia dengan baik, anak-anak hendaknya juga memiliki kesiapan psikolinguistik. Untuk dapat memiliki kesiapan psikolinguistik anak-anak hendaknya memperoleh kesempatan untuk paling tidak mendengar penggunaan bahasa Indonesia dilingkungan keluarganya.lebih baik lagi kalau dilingkungan keluarganya terdapat Koran, majalah, dan buku-buku dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan anak.
2.
Pengaruh pembelajaran
pada proses pemerolehan bahasa
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia disekolah, khususnya bagi anak-anak di kelas rendah sekolah dasar ialah bahwa pembelajaran bahasa Indonesia disekolah tentu juga mempunyai pengaruh yang paling besar dalam pemerolehan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kondisi yang sebaik-baiknya perlu diupayakan agar anak-anak memperoleh pengalaman berbahasa sebanyak –banyaknya dengan memperhatikan kaidah bahasa yang berlaku. Namun, perlu diingat jangan sampai pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah menekankan pada penggunaan kaidah semata. Pemerolehan bahasa yang mendekati pemerolehan bahasa yang alami perlu di usahakan. Caranya dengan menggunakan konteks-konteks berbahasa yang sebenarnya, yang dekat dengan kehidupan anak. Misalnya saja dimunculkan topik-topik “menjaga adik”, “membantu ayah dan ibu”, silaturahmi dengan sanak famili”, “bermain bola”, dan sebagainya.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia disekolah, khususnya bagi anak-anak di kelas rendah sekolah dasar ialah bahwa pembelajaran bahasa Indonesia disekolah tentu juga mempunyai pengaruh yang paling besar dalam pemerolehan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kondisi yang sebaik-baiknya perlu diupayakan agar anak-anak memperoleh pengalaman berbahasa sebanyak –banyaknya dengan memperhatikan kaidah bahasa yang berlaku. Namun, perlu diingat jangan sampai pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah menekankan pada penggunaan kaidah semata. Pemerolehan bahasa yang mendekati pemerolehan bahasa yang alami perlu di usahakan. Caranya dengan menggunakan konteks-konteks berbahasa yang sebenarnya, yang dekat dengan kehidupan anak. Misalnya saja dimunculkan topik-topik “menjaga adik”, “membantu ayah dan ibu”, silaturahmi dengan sanak famili”, “bermain bola”, dan sebagainya.
3. Pengaruh pembelajaran pada kecepatan pemerolehan bahasa
Long (1983) lewat Freeman dan Long (1991) mengkaji sebelas hasil penelitian tentang capaian belajar bahasa kedua, yang menggunakan tiga kelompok belajar yaitu yang memperoleh pembelajaran saja, yang memperoleh pembelajaran dan juga berada dalam lingkungan yang menggunakan bahasa yang dipelajari , dan yang memperoleh bahasa secara alami tanpa pembelajaran disekolah. Ia menemukan, enam penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima pembelajaran bahasa disekolah mengalami perkembangan pemerolehan bahasa lebih cepat.
Long (1983) lewat Freeman dan Long (1991) mengkaji sebelas hasil penelitian tentang capaian belajar bahasa kedua, yang menggunakan tiga kelompok belajar yaitu yang memperoleh pembelajaran saja, yang memperoleh pembelajaran dan juga berada dalam lingkungan yang menggunakan bahasa yang dipelajari , dan yang memperoleh bahasa secara alami tanpa pembelajaran disekolah. Ia menemukan, enam penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menerima pembelajaran bahasa disekolah mengalami perkembangan pemerolehan bahasa lebih cepat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahasa adalah: Sistem simbol vokal yang arbitrer
dalam suatu kebudayaan tertentu,yang memiliki khas dan ciri tertentu. Digunakan
oleh suatu masyarakat untuk berinteraksi,dan bekerja sama.
Pada
hakikatnya pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan
untuk menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang
lain. Maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses
pemilikan kemampuan berbahasa baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan,
secara alami, tanpa melalui kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998).
Beberapa teori pemerolehan bahasa pada anak diantaranya
yaitu:
1.
Teori Pemerolehan
Bahasa Behavioristik
2.
Teori Pemerolehan
Bahasa Mentalistik
3.
Teori Akuisisi Bahasa
Kognitif
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
- Faktor Biologis
2.
Faktor Lingkungan Sosial
3.
Faktor Intelegensi
4.
Faktor Motivasi
B.
Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan
pembaca dapat mengetahui tentang pemerolehan bahasa anak serta dapat mengetahui
apa pengaruh pembelajaran terhadap pemerolehan bahasa anak, sehingga dapat memberikan
pembelajaran yang sesuai pada anak.
Daftar
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar